Bismillah,
Sering mendengar ceramah tentang tak berharganya kehidupan dunia dan larangan agama untuk terbuai dengan godaannya.
Saya tak merasa perlu menganggapnya.
Toh, masih muda dan punya energi. Kesempatan untuk orang seumur saya masih terbuka lebar. Kenapa keinginan bertubi-tubi ini harus direm?
Baru-baru ini saya nonton sebuah tayangan di TV. Sepasang suami istri ekspatriat Maroko yang hidup bekelimpahan di USA tiba-tiba memutuskan untuk memulai hidup dari nol di negara asalnya. Melepaskan usaha yang susah payah dibangun, harta kekayaan yang dicinta, dan orang-orang terdekat mereka. Alasan yang mendasari saya gak terlalu 'nangkep'. Tapi yang membuat saya terpesona adalah betapa mereka MENERIMA DENGAN SENANG HATI, DENGAN TULUS, kesulitan-kesulitan yang dihadapi di tempat baru. TIDAK ADA PENYESALAN ditunjukkan. Digambarkan dari tayangan tersebut, mobil butut seperti hampir rusak sebagai pengganti Marcedes mereka dulu. Usaha baru mereka? Mencoba bertani dengan kualitas dan kuantitas lahan seadanya. Bahkan tampaknya tanah di tempat baru itu gersang dan kurang subur. Dari hasil bertani, bahkan menangkap kelinci, Si Suami menjualnya ke pasar. Sementara istrinya menikmati kesendirian dengan beraktivitas di rumah. Dengan alasan menghindari hiruk pikuk pasar yang akan mengingatkan akan kehidupannya dulu. Salah satu pernyataan yang inspiratif darinya seperti ini, "Ketika seseorang bisa bertahan hidup tanpa uang, itulah kemerdekaan,"
Melalui tulisan ini, saya tak bermaksud mengatakan, "Marilah hidup miskin" hehe.
Ketika kita diberi Allah ilmu, tenaga, dan umur produktif, memang sia-sia untuk tidak memanfaatkannya dengan maksimal. Malah dosa kalo kita malas-malasan. Jika ada kesempatan untuk memberdayakan semua potensi itu lakukanlah. Do the best. Tapi ibarat menaiki tangga yang tidak besandar di tempat yang pas, ia akan jatuh. Tak apa sedikit serius memikirkan, "Jika saya 'berlari' seperti ini saya dapat apa? Akan saya gunakan untuk apa? Seberapa pentingnya semua ini untuk saya?" Jika 'berlari' untuk uang (seperti saya dan kebanyakan orang-orang lakukan), pertanyaan selanjutnya untuk apa? Untuk memenuhi kebutuhan primer kah, sekunder kah, atau tersier kah.
Tetap harus memikirkan bahwa uang yang kita dapatkan mampu atau tidak memenuhi kebutuhan mendasar. Bila tidak, malah mendatangkan bahaya. Ini dorongan utama ketika sesorang bekerja. Kita harus makan, bukan sekedar makan, tapi memberi asupan gizi baik bagi tubuh kita. Kalau makanan murah dan seadanya, bagaimana bisa kuat dan sehat? Harus berpakaian yang layak. Kalo pakaian murah dan tipis, aurat wanita tidak terlindungi. Kita punya uang untuk mengontrak atau membeli rumah, jika tinggal di kolong jembatan, kita tak bisa beribadah dengan tenang. Ada biaya untuk menyekolahkan anak untuk menjadikan mereka generasi bermanfaat.
Keinginan dengan dasar yang tidak baik atau berdasarkan hawa nafsu itulah yang merusak. Sebaiknya saya dan kita semua berlatih untuk mengendalikannya. Siapa sih yang gak mau dipuji dan dihormati karena punya mobil mewah? Kebutuhan tersier tak ada salahnya dipenuhi, tapi kalau porsinya kegedean, jelek juga.
Uang, yang bisa menyelamatkan kita dari kesulitan akibat tidak terpenuhi hal-hal mendasar pun, bukan satu-satunya alasan untuk kita tidak bermalas-malasan. Pikirkan berapa banyak pundi-pundi pahala terkumpul, yang akan memampukan diri membeli tiket surga, Insyaa Allah. Jadi tak masalah, misalnya, sudah banting tulang tapi uangnya tak cukup. Toh kerja keras itu pahala. Dengan memanfaatkan potensi kita bisa menjadi bermanfaat dengan orang lain. Satuan kebersihan kota bekerja siang malam membersihkan selokan demi mencegah banjir dalam jangka panjang. Uang gaji yang diperoleh tidak sebanding manfaat besar yang diperoleh masyarakat.
Mungkin itulah maksud Dina, "Ketika kita bisa bertahan hidup tanpa uang, kita memperoleh kemerdekaan." Ketika hidup kita tak terganggu kualitasnya, tak peduli dengan besar kecilnya uang diperoleh, disitulah kebahagiaan sejati muncul.
I like your post.
BalasHapusYou can search latest jobs in Part Time Jobs